Selasa, 16 Agustus 2011

SuryaPost.com: Apa yang kita sombongkan?

SuryaPost.com: Apa yang kita sombongkan?: "S eorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan e..."

SuryaPost.com: Apa yang kita sombongkan?

SuryaPost.com: Apa yang kita sombongkan?: "S eorang pria yang bertamu ke rumah Sang Guru tertegun keheranan. Dia melihat Sang Guru sedang sibuk bekerja; ia mengangkuti air dengan e..."

SuryaPost.com: Tuhan Itu tidak ada

SuryaPost.com: Tuhan Itu tidak ada: "SuryaPost.com - Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut dan merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memot..."

Minggu, 14 Agustus 2011

Belajar iLmu biology: Cara Bercocok Tanam Jagung

Belajar iLmu biology: Cara Bercocok Tanam Jagung: "MEMILIH BENIH Benih bermutu merupakan syarat utama untuk mendapatkan panen yang maksimal. Disebut benih bermutu; jenisnya murni, bernas, ke..."

Belajar iLmu biology: cara ke 2 memperbesar payudara

Belajar iLmu biology: cara ke 2 memperbesar payudara: "Payudara yang tak lagi sekencang waktu masih gadis, memang wajar terjadi. Apalagi usia Anda sudah merambat naik, sehingga payudara pun..."

Belajar iLmu biology: Cara memperbesar payudara

Belajar iLmu biology: Cara memperbesar payudara: "Pada artikel tulisan kali ini akan menjelaskan metode bagaimana cara memperbesar payudara yang diperkenalkan oleh website ini. Program Memb..."

Beautiful Asian Artists: Ayumi Hamasaki

Beautiful Asian Artists: Ayumi Hamasaki: "Name : Ayumi Hamasaki Birthday : October 2, 1978 Birthplace : Fukuoka, Japan Height : 156cm Weight : 40kg Ayumi Hamasaki is one ..."

Beautiful Asian Artists: Jessica Jung

Beautiful Asian Artists: Jessica Jung: "Name : Jessica Jung (Jung Soo Yeon) Birthday : April 18, 1989 Birthplace : San Francisco, California, USA Height : 163cm Weight : 43kg ..."

Beautiful Asian Artists: Marian Rivera

Beautiful Asian Artists: Marian Rivera: "Name : Marian Gracia Rivera Birthday : August 12, 1984 Birthplace : Madrid, Spain Height : 163cm Weight : 49kg Marian Rivera is a ..."

aksara hati: DALAM SYAHADAT AKU MENEKUR

aksara hati: DALAM SYAHADAT AKU MENEKUR: "Karena belum kutemukan kata paling Khilaf maka Iftitahku terpatah. Karena belum kuperoleh kata paling Syair ku kumandangkan Takbir dan Z..."

aksara hati: MERABA HATIMU

aksara hati: MERABA HATIMU: "Aku lelah mencari kata paling sayang kubiarkan angan melayang... menapaki kisi-kisi cakrawala. Aku lelah mencari kata paling cinta kusemaya..."

aksara hati: PANTUN SALAM

aksara hati: PANTUN SALAM: "Mentimun buah mentimun masih lebat sudah di kebat melamun jangan melamun setan lewat mudah kesambat. Kerudung nak dara berkerudung ..."

Jumat, 12 Agustus 2011

Your Slideshow Title Slideshow

Your Slideshow Title Slideshow: "TripAdvisor™ TripWow ★ Your Slideshow Title Slideshow ★ to Indonesia. Stunning free travel slideshows on TripAdvisor"

Etika Berdo’a

Oleh : Ustadz Alfi Syahar, MA

Sesuatu yang amat mulia dari seorang hamba pada Rabb-Nya adalah do’a. Ini disebabkan karena pada saat berdo’alah seorang hamba lebih menyatakan ketundukan dan kerendahan dirinya kepada Allah, penuh harap kepada-Nya memohon diberikan rahmat dan dijauhkan dari murka-Nya. Dan itulah arti dari pada ibadah yang sebenarnya.
Dari Abu Hurairahرضي الله عنه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

ليس شيءٌ أكرم على الله من الدعاء

“Tidak ada sesuatu yang lebih mulia bagi Allah dari pada do’a.” [HR.Tirmidzi, ibnu Majah, ibnu Hibban, dan Al Hakim, ia berkata hadits shahih, Adz Dzahabi menyetujui].
Allah berfirman :
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka ( jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat.Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku.” [QS.Al Baqarah : 186].

Karena itu, do’a juga termasuk dalam ibadah utama. Bahkan Allah pun memerintahkan hamba-Nya untuk berdo’a dan marah kepada siapa pun yang enggan untuk berdo’a kepada-Nya. Allah berfirman :

وقال ربكم ادعوني أستجب لكم إن الذين يستكبرون عن عبادتي سيدخلون جهنم داخرين

“Dan Tuhanmu berfirman : Berdo’alah kepada-Ku niscaya akan kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari berdo’a kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” [QS. Ghafir : 60].
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

ومن لم يدع الله يغضب عليه
“Barangsiapa yang tidak berdo’a maka Allah marah kepadanya.” [HR. Ahmad, Tirmidzi, ibnu Majah, dan Bukhari dalam Adab Al Mufrad].

Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga memberikan perhatian yang besar dalam hal ini. Selain Beliau sendiri bermudawamah –membiasakan diri- dengan banyak berdo’a, Beliau pun mengajarkan lafadz-lafadz dengan do’a-do’a tertentu sebagaimana dirinya mengajarkan surat-surat Al Qur’an. Sehingga dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam berdo’a perlu bertaqayyud (membatasi diri) dengan do’a-do’a yang ma’tsur (diriwayatkan) dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم .

Mengingat do’a adalah ibadah yang hanya dapat ditujukan kepada Allah, maka wajib bagi kita untuk meluruskan pemahaman dan cara kita dalam berdo’a.
Beberapa hal yang patut untuk diperhatikan dan diluruskan dalam berdo’a adalah :

1.Senantiasa berdo’a kepada Allah baik ketika ditimpa musibah maupun tidak. Allah berfirman :

وإذا مس الإنسانَ الضرُّ دعانا لجنبه أوقاعداً أو قائماً فلما كشفنا عنه ضُرُّه مرّ كأن لم يدعنا إلى ضُرٍّ مسهُّ

“Dan apabila manusia ditimpa bahaya dia berdo’a kepada Kami dalam keadaan berbaring , duduk, atau berdiri, tetapi setelah kami hilangkan bahaya itu dari padanya dia (kembali) melalui (jalannya) yang sesat , seolah-olah dia tidak pernah berdo’a kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang telah menimpanya.” [QS. Yunus : 12].

2.Tidak bermalas-malasan dalam berdo’a.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

أعجِزُ الناس من عجز عن الدعاء وأبخلهم من بخل بالسلام

“Orang yang paling lemah adalah yang lemah (malas) untuk berdo’a dan orang yang paling kikir adalah yang kikir dalam bersalam.” [HR. Abu Ya’la, Thabrani, dan ibnu Hibban, dengan sanad yang shahih].

3.Tidak melampaui batas dalam berdo’a, seperti berdo’a dengan suara nyaring dan keras.
Allah berfirman :

ادعوا ربكم تضرعاً وخُفية إنه لايحب المعتدين
“Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan rendah diri dan suara yang lembut , sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” [QS. Al A’raf : 55].

Dan termasuk dalam kategori melampaui batas dalam berdo’a, antara lain :
a.Terlampaui mendetail (merinci) permohonan dalam berdo’a.
Diriwayatkan dari ‘Aisyah رضي الله عنها :

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يستحب الجوامعَ من الدعاء ويدعُ سِوى ذلك

“Rasulullah صلى الله عليه وسلم biasa memilih untuk berdo’a dengan do’a-do’a yang jami’ (umum) dan meninggalkan yang selain itu.” [HSR. Ahmad dan Abu Daud].

b.Mendo’akan kecelakaan untuk diri sendiri, keluarga dan harta.
Allah berfirman :

ويدع الإنسانُ باشرِّ دعاءه بالخير وكان الإنسانُ عجولاَ

“Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebgaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa.” [QS. Al Isra’ : 11].

Demikianlah Allah melarang hamba-hamba-Nya berdo’a untuk kejelekan bagi dirinya dan orang lain, sekalipun seorang bapak atau Ibu yang mendo’akan kejelekan kepada anaknya sewaktu marah, karena dikhawatirkan do’a tersebut bertepatan dengan waktu dimana saat itu Allah menerima dan mengabulkan do’a hamba-Nya. Sebagaimana Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

لاتدعوا على أنفسكم ولا تدعوا على أولادكم ، ولا تدعوا على أموالكم ، لا توافقوا من الله ساعةَ يسأل فيها عطاءً فيستجيب لكم

“Janganlah kamu berdo’a untuk (kecelakaan) terhadap dirimu begitupun terhadap anak-anakmu dan terhadap harta bendamu, jangan sampai nanti do’amu itu bertepatan dengan saat dimana Allah sedang memenuhi permohonan, sehingga do’a burukmu itu benar-benar terkabul.” [HR.Muslim].

c.Menyatakan dalam berdo’a : “Kabulkanlah jika Engkau menghendaki.”
Disebutkan dalam hadits :

عن أنسٍ بن ملكٍ رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا دعا أحدَكم فليعزم المسألةَ ولا يقولنّ : أللهم إنْ شئت فأعطني فإنه لا مُستكرهُ له

“Dari Anas bin Malik رضي الله عنه , bersabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم jika seorang diantara kalain berdo’a maka hendaknya ia bersungguh-sungguh dalam memohonkannya. Dan janganlah ia berdo’a : “Ya Allah jika Engkau menghendaki, anugerahkanlah aku.” Karena sesungguhnya tidak ada yang dapat memaksa –Nya.” [HR. Bukhari dan Muslim].

d.Berdo’a memohon terjadinya dosa ataupun terjadinya pemutusan silaturrahim.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم bersabda :

لايزال يُستجابُ للعبدِ مالم يدع بإثمٍ أو قطيعةِ رحمٍ مالم يستأجل

“Akan selalu do’a seorang hamba dikabulkan selama ia tidak berdo’a untuk sebuah dosa, atau (berdo’a) untuk memutuskan silaturrahim serta selama ia tidak meminta dikabulkan dengan segera.” [HR. Muslim].

4.Tidak tergesa-gesa dalam mengharapkan terkabulnya do’a.
Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda :

يُستجابُ لأحدِكم مالم يعجل يقول دعوتُ فلم يُستجب لي

“Akan selalu dikabulkan do’a seorang diantara kalian selama ia tidak meminta dikabulkan dengan segera, ia berkata : “Saya sudah berdo’a tetapi belum dikabulkan permohonanku.” [HR. Bukhari].

Berkata Umar bin Khattab : “Saya tidak terlalu mementingkan terkabulnya do’a tetapi yang terpenting bagiku adalah do’a itu (adalah ibadah) sehingga apabila kepentinganku adalah do’a maka ijabahnya akan mengikuti.”

5.Tidak meninggalkan do’a karena lelah dan bosan.
Allah berfirman memuji sifat-sifat malaikat-malaikat-Nya :

وله من في السماواتِ والأرضِ ومن عنده لا يستكبرون عن عبادته ولا يستحسرون . يُسبحون الليلَ والنهارَ لا يفتُرون

“Dan kepunyaan-Nyalah segala yang dilangit dan dibumi. Dan Malaikat-malaikat yang disisi-Nya mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” [QS. Al Anbiya : 19-20].

6.Tidak berdo’a dengan hati yang lalai.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم bersabda :

واعلموا أن الله لا يستجيبُ دُعاءً من قلب غافل لاه

“Dan ketahuilah ! Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a yang datang dari hati yang lalai dan lengah.” [HR. Tirmidzi dan Thabrani dari Abu Hurairah dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani].

7.Mengangkat kedua tangan dalam berdo’a.
Rasulullahصلى الله عليه وسلم bersabda :

إن اللهَ حيٌ كريمٌ يستحيي إذا رفع الرجلُ إليه يديه أن يرُدَهما صفراً خائبين

“Sesungguhnya Allah yang Maha hidup dan Maha pemurah merasa malu jika seseorang mengangkat kedua tangannya (berdo’a) kepada-Nya dikembalikan kosong tidak mendapat apa-apa.” [HR.Abu Daud dan Tirmidzi dan dihasankan oleh Syeikh Al Albani].

8.Senantiasa memulai do’a dengan pujian kepada Allah dan Shalawat kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم .

Rasulullahصلى الله عليه وسلم bersbda :

إذا صلى أحدكم فليبدأ بتحميد الله والثناء ثم يصلي على النبي صلى الله عليه وسلم ثم يدعوا بماشاء

“Apabila seseorang diantara kalian berdo’a, maka hendaklah ia memulai dengan Alhamdulillah dan pujian-pujian kepada Allah, lalu bershalawat kepada Nabi dan kemudian ia berdo’a dengan apa yang ia kehendaki.” [HSR. Abu Daud].

Demikian beberapa hal yang patut diperhatikan dan diluruskan oleh setiap muslim ketika berdo’a. Tertolak atau terkabulnya sebuah do’a adalah hak prerogatif Allah.
Maka selama kita mengikhlaskan do’a hanya kepada Allah semata dan sesuai dengan adab dan syarat-syarat yang dicontohkan oleh Rasulullah, maka insyaAllah Allah akan mengabulkannya, dan Dia Maha mendengar semua do’a.

Wallahu’alam

Sedekah Juga Perlu Latihan


 Oleh Ustadz Rizki Narendra

Segala puji bagi Allah ta’ala, dan semoga sholawat dan salam selalu tercurah kepada Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- beserta para keluarga dan pengikut serta beliau hungga akhir zaman, amma ba’du:
Harta memang layak untuk dicintai. Setiap makhluk hidup –tidak terkecuali manusia – memiliki fitrah untuk mencintai setiap hal yang dapat memenuhi kebutuhannya baik lahir maupun batin. Seorang anak mencintai ibunya karena dia bisa memenuhi kebutuhan kasih sayang, mencintai ayahnya karena dia memenuhi nafkah hidupnya, suami istri saling mencintai karena saling memenuhi kebutuhan lahir dan batin mereka. Begitu pula dengan harta, dicintai karena dia bisa memenuhi kebutuhan kita, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (Ali-Imron:14). Rasa cinta yang timbul inilah yang menyebabkan manusia memiliki rasa ketidakrelaan untuk kehilangan apa yang dicintainya. Sebagaimana seorang anak, ia tidak akan rela kehilangan orang tua, suami atau istri tidak rela kehilangan pasangannya, begitu pula kita tidak rela kehilangan harta. Itu bukanlah aib. Sebaliknya, rasa ketidakrelaan ini justru mendorong menusia untuk mempertahankan dan membela mati-matian apa yang dicintainya. Akan tetapi, perasaan ini berubah menjadi aib apabila timbul secara berlebihan. Seorang istri misalnya, jika dia memiliki rasa cinta yang berlebih kepada suaminya, maka tatkala sang suami meninggalkannya, hal itu akan membuat dia mencaci maki takdir dan ketetapan Allah ta’ala – na’udzu billahi min dzalik. Hartapun juga begitu, kecintaan yang berlebihan terhadap harta menyebabkan salah satu sifat bakhil atau kikir bersarang pada diri manusia, bahkan Allah ta’ala menggambarkan manusia yang memiliki sifat buruk ini dalam firman-Nya, “Katakanlah: Kalau seandainya kamu menguasai perbendaharaan-perbendaharaan rahmat Tuhanku, niscaya perbendaharaan itu kamu tahan, karena takut membelanjakannya”. dan adalah manusia itu sangat kikir” (Al-Israa: 100).

Kalau sifat kikir sudah bersarang di dalam dada, sebanyak apapun harta tidak akan bisa membuat orang merasa “aman dan nyaman” untuk bersedekah. Takut tidak bisa membayar uang sekolah anak, takut tidak bisa membelikan kosmetik untuk istri, takut nanti kalau masuk rumah sakit tidak bisa membayar biaya berobat, takut masa depan anak, takut nanti kalau kendaraan rusak tidak punya uang untuk ke bengkel, takut harga barang-barang naik waktu lebaran, takut tidak bisa mengumpulkan harta cukup untuk biaya pernikahan, takut nanti kesulitan menafkahi keluarga setelah menikah, dan sejuta rasa takut lainnya yang bisa menjadi alasan seseorang untuk tidak membagi hartanya kepada orang lain, atau kalaupun harus berbagi usahakan uang receh saja, atau kalau bisa sumbang doa saja tidak usah sumbang harta, karena berdasarkan rumus matematika yang kita pelajari sejak duduk di bangku TK kalau “dua” dikurang “satu” hasilnya pasti “Satu”, dengan kata lain kalau “Budi” memiliki Rp.200,-. kemudian yang Rp.100- diberikan kepada “Ani” maka uang “Budi” sekarang tinggal Rp.100,-. Jadi kalau “Budi” ingin agar uangnya tidak berkurang maka jangan memberi uang kepada orang lain.
Sifat kikir bukanlah masalah sepele, Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- sudah memperingatkan umatnya akan bahaya penyakit yang satu ini, beliau bersabda: “Jauhilah oleh kalian kedzoliman, karena sesungguhnya kedzaliman itu akan menjadi kegelapan bagi pelakunya pada hari kiamat, dan jauh pula sifat kikir, karena sifat ini telah membawa kehancuran bagi umat-umat terdahulu”. (HR.Muslim)

Imam Nawawi menjelaskan bahwa sifat kikir memicu mereka untuk saling membunuh sehingga kedzaliman merajalela. Selain itu, beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- juga bersabda: “Ada dua sifat yang tidak akan berkumpul dalam diri orang yang beriman: kekikiran dan akhlak yang buruk”. (HR.Tirmidzi)
Beliau -sholallahu ‘alaihi wasalam- juga bersabda: “Dalam tubuh seorang hamba tidak akan pernah bercampur debu bekas jihad di jalan Allah dengan asap api neraka, dan dalam hati seorang hamba tidak akan pernah bercampur kekikiran dengan keimanan”. (HR. Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Majah)
“Melatih diri” untuk dermawan sangatlah penting. Kenapa saya bilang “melatih diri untuk dermawan” bukan “menjadi dermawan”…? Karena memang kedermawanan itu butuh latihan. Tidak mungkin seseorang bisa mengangkat karung beras 50 Kg ketika dia berumur 5 tahun, butuh latihan otot bertahun-tahun. Seperti itu juga dengan sifat dermawan, untuk berani menginfakkan seluruh harta benda dijalan Allah sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar – rodhiallahu’anhu – atau setengah harta pribadi sebagaimana yang dilakukan Umar – rodhiallahu’anhu – atau berbagi separuh harta dengan saudara seiman sebagaimana yang dilakukan Kaum Anshar kepada kaum Muhajirin, bukanlah hal mudah yang bisa terjadi dalam sehari semalam. Butuh waktu dan usaha untuk meyakinkan dalam diri kita bahwa ayat, “apa saja yang kamu nafkahkan, Maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah sebaik-baik pemberi rezki”. (Saba: 39)
Mungkin ada benarnya kaidah “sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”, tidak hanya berlaku dalam tabung-menabung saja, tapi dalam hal ini – melatih diri untuk dermawan- juga harus diterapkan. Artinya adalah untuk memberanikan diri mengeluarkan harta di jalan Allah dalam skala besar1 kita perlu membiasakan diri dengan sedekah-sedekah skala kecil. Abu Bakar -rodhiallahu’anhu- tidak mungkin berani menyedekahkan seluruh hartanya kecuali sebelumnya dia telah terbiasa menyedekahkan sebagian hartanya dengan membebaskan budak, menyantuni fakir miskin, dll. Keberanian – keberanian kecil yang terkumpul ketika mengeluarkan sedekah-sedekah kecil akan melahirkan keberanian besar untuk mengekuarkan sedekah yang besar pula.

Hukum serupa juga berlaku untuk sifat kikir. Seseorang membiasakan diri dengan kikir – kikir kecil lama kelamaan tidak akan canggung lagi untuk melakukan kekikiran yang lebih besar. Sebelum orang-orang kafir dihukumi oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang kikir sampai-sampai apabila mereka memiliki perbendaharaan langit dan bumi mereka tetap akan kikir sebagaimana yang dijelaskan dalam surat al-israa diatas, mereka telah memupuk hati mereka dengan kekikiran-kekikiran kecil.
Memang benar kalau kita berhitung dengan rumus matematika, sifat kikir itu mendatangkan keuntungan karena dengan begitu harta tidak berkurang. Namun sayang syariat islam tidak bisa di timbang dengan kaca mata matematika. Tidak semua yang berkurang itu berarti berkurang, dan tidak semua yang stabil itu berarti stabil. Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam- bersabda: “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta”  (HR. Muslim)
Beliau juga pernah bersabda kepada Asma binti Umaisy: “Janganlah engkau pelit (enggan bersedekah karena takut miskin) sehingga Allah Ta’ala pelit terhadapmu” (HR. Bukhori dan Muslim)
Wallahu a’lam bishowab.

Walhamdulillahi robbil ‘alamin.
1. Yang dimaksud dengan “skala besar” disini bukanlah nilai nominal harta melainkan persentase harta yang di sedekahkan dibanding dengan jumlah keselruhan harta. Misalnya si A bersedekah sebanyak Rp.1.000,- sedangkan si B sebanyak Rp. 1.000.000.000.000.000.000.,- keduanya bersedekah ikhlas lillahi ta’ala di jalan Allah, tapi jumlah total kekayaan si A keseluruhanya adalah Rp.1.000,- yang artinya dia menginfakan seluruh hartanya 100%, sedangkan total kekayaan si B 1.000.000 kali lipat dari harta yang disedekahkan, di sisi Allah ta’ala sedekah si A jauh lebih unggul di bandingkan si B karena tingkat kesulitan dan tantangan yang harus dihadapi A lebih besar daripada B. wallahu a’lam.

Rabu, 03 Agustus 2011

Tugas Mukmin Di Bulan Ramadhan

TUGAS MUKMIN DI BULAN RAMADHAN

Oleh  Syaikh Ali bin Hasan bin Abdul Hamid Al-Halaby

Pada bulan Ramadhan, seorang Mukmin mempunyai beberapa tugas syar’i. Tugas-tugas ini sudah dijelaskan oleh Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melalui sunnah qauliyah (perkataan) beliau, juga praktek-praktek beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena bulan Ramadhan merupakan musim kebaikan. Nikmat-nikmat Allâh Azza wa Jalla yang dianugerahkan kepada para hamba pada bulan ini lebih banyak dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain.[1]

Tugas-tugas ini mencakup banyak persoalan hukum syar’i, yang meliputi seluruh amalan selama satu bulan yang penuh dengan amal kebaikan dan ketaqwaan.

PERTAMA : SHIYAM (PUASA).
Secara umum, shiyâm (puasa) memiliki keutamaan yang besar. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim rahimahullah.

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَخُلْفَةُ فَمِ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ

"Semua amal perbuatan bani Adam adalah kepunyaan bani Adam sendiri, kecuali puasa. Puasa itu kepunyaanKu, dan Aku yang akan memberikan balasan. Maka, demi Dzat yang nyawa Muhammad ada ditanganNya, sungguh di sisi Allâh, aroma mulut orang yang sedang berpuasa itu lebih harum daripada minyak kasturi".

Imam Mazari rahimahullah dalam kitab al Mu’lim Bifawâ-idi Muslim (2/41), mengatakan, “Dalam hadits qudsi ini, Allâh Azza wa Jalla secara khusus menyebut puasa sebagai “milikKu”, padahal semua perbuatan baik yang dilakukan secara ikhlas juga milikNya; karena dalam puasa tidak mungkin (kecil kemungkinan-red) ada riyâ’, sebagaimana pada perbuatan-perbuatan selainnya. Karena puasa itu perbuatan menahan diri dan menahan lapar, sementara orang yang menahan diri -baik karena sudah kenyang atau pun karena miskin- zhahirnya sama saja dengan orang yang menahan diri dalam rangka beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla. Niat serta motivasi yang tersimpan dalam hatilah yang memiliki peranan penting dalam masalah ini. Sedangkan shalat, haji dan zakat merupakan perbuatan-perbuatan lahiriyah yang berpotensi menimbulkan riya’ [2] dan sum’ah [3]. Oleh karena itu, puasa dikhususkan sebagai milik Allâh sementara yang lainnya tidak."

Disamping keutamaan yang bersifat umum ini ada keutamaan khusus yang melekat dengan bulan Ramadhân, berdasarkan sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam,

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang puasa Ramadhân karena iman dan karena ingin mendapatkan pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".[4]

Dan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

شَهْرُ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةُ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ

"Satu bulan sabar (berpuasa Ramadhân) ditambah tiga hari puasa pada setiap bulan, sama dengan puasa satu tahun".[5]

Yang dimaksud dengan bulan sabar yaitu bulan Ramadhan [6]. Ibnu Abdil Barr rahimahullah [7] menjelaskan,“Dalam kamus Lisânul Arab, shaum juga bermakna sabar. Allâh Azza wa Jalla berfirman.

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas". [az-Zumar/39:10]

Abu Bakar Ibnul Anbari mengatakan,"Shaum (puasa) itu dinamakan sabar, karena puasa adalah menahan diri dari makan, minum, berkumpul suami-istri serta menahan diri dari syahwat."

KEDUA : QIYAMULLAIL (TARAWIH)
Shalat tarawih ini sunnahnya dikerjakan secara berjama’ah selama bulan Ramadhân. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ

"Sesungguhnya barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai, maka ditetapkan pahala baginya, seperti shalat sepanjang malam".[8]

Dalam menerangkan keutamaan shalat tarawih ini Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa yang shalat tarawih karena iman dan mengharap pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat" [9].

Petunjuk terbaik tentang jumlah raka’at shalat malam pada bulan Ramadhân atau bulan lainnya, ialah petunjuk yang shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan dari perbuatan beliau, yaitu shalat 11 raka’at. Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam panutan yang sempurna.

KETIGA : SHADAQAH.
Kedermawanan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam paling menonjol pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa salalm pada bulan-bulan yang lain [10].

Kedermawanan ini mencakup semua arti shadaqah dan semua jenis perbuatan baik. Karena kedermawanan itu banyak memberi dan sering memberi [11]. Dan ini mencakup berbagai macam amal kebajikan dan perbuatan baik.

KEEMPAT : MEMBERIKAN BUKA PUASA KEPADA ORANG YANG BERPUASA
Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menganjurkan umatnya untuk melakukannya dan memberitahukan pahala yang sangat besar sebagai hasil yang bisa mereka raih. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberikan makanan buka puasa kepada orang yang berpuasa, maka dia akan mendapatkan pahala, sebagaimana pahala orang yangberpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa".[12]

KELIMA : MEMBACA AL-QUR'AN.
Bulan Ramadhan, merupakan bulan al-Qur’an, sebagaimana difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla.

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)". [al-Baqarah/2:185].

Dalam sunnah ‘amaliyah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terdapat keterangan tentang praktik nyatanya. Jibril Alaihissallam mengajak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bertadarus al-Qur’ânpada setiap malam bulan Ramadhân [13].

KEENAM : UMRAH
Imam Bukhâri rahimahullah dan Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

عُمْرَةٌ فِي رَمَضَانَ تَعْدِلُ حَجَّةً مَعِيْ

"Umrah pada bulan Ramadhân sama dengan haji bersamaku".

Perhatikanlah keutamaan ini -semoga Allâh merahmati anda sekalian-. Alangkah besar dan alangkah afdhalnya.

KETUJUH : MENCARI LAILATUL QADAR
Allâh Azza wa Jalla berfirman.

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’ân pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu, apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan". [al-Qadr/97:1-3].

Dalam kitab shahih Bukhâri dan Muslim ada riwayat yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

"Barangsiapa shalat pada malam qadar karena iman dan karena ingin mencari pahala, maka dia diampuni dosanya yang telah lewat".

Lailatul qadar itu berada pada malam-malam ganjil sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhân. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi rahimahulllah dan Ibnu Mâjah rahimahullah dengan sanad yang shahih dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, beliau Radhiyallahu 'anha bercerita :

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ وَافَقْتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ مَا أَقُوْلُ قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Wahai Rasûlullâh, apakah yang aku katakan, jika aku mendapati lailatul qadar? Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,”Katakanlah :

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

"Ya Allâh, sesungguhnya engkau Maha Pemberi Maaf, maka maafkanlah aku."

Demikianlah ringkasan beberapa tugas pokok yang semestinya dilaksanakan oleh seorang muslim pada bulan yang penuh barakah ini. Adapun tugas selengkapnya yang wajib dijaga oleh seorang muslim pada bulan ini yaitu menahan diri dari segala perbuatan jelek, sabar terhadap penderitaan, menjaga hati dan melaksanakan kewajiban lahir, dengan cara konsisten menjalankan hukum-hukum Islam dan mengikuti sunnah-sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[Diterjemahkan Redaksi dari Al Ashalah edisi 3/15 Sya’ban 1413 H halaman 70-72.]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XIV/1431H/2010M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858197]
_______
Footnote
[1]. Fathul Bâri 1/31.
[2]. Ingin amalannya dilihat orang
[3]. Ingin amalannya didengar orang
[4]. Muttafaqun alaihi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu.
[5]. Diriwayatkan Imam Nasâ’i (4/218), Ahmad (2/263 dan 284) dan Thayâlisi (315) dan al Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu dengan sanad shahih.
[6]. At-Tamhîd 19/61
[7]. At-Tamhîd
[8]. Hadits Riwayat Abu Dâwud, Tirmidzi, Nasâ’i, Ibnu Nashr dari Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu dengan sanad yang shahih
[9]. Muttafaq ‘alaihi
[10]. Muttafaq ‘alaihi
[11]. Lathâiful Ma’ârif, hlm. 173, karya Ibnu Rajab rahimahullah
[12]. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Mâjah, dari Zaid bin Khalid Radhiyallahu 'anhu, dengan sanad yang shahih
[13]. HR Imam Bukhâri

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam Di Bulan Ramadhan

RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM DI BULAN RAMADHAN

Oleh
Syaikh Dr Muhammad Musa Alu Nashr


Tamu agung nan penuh barakah akan kembali mendatangi kita. Kedatangannya yang terhitung jarang, hanya sekali dalam setahun menumbuhkan kerinduan mendalam di hati kaum Muslimin. Leher memanjang dan mata nanar memandang sementara hati berdegup kencang menunggu kapan gerangan hilalnya terbit.

Itulah Ramadhân, bulan yang sangat dikenal dan benar-benar ditunggu kehadirannya oleh kaum Muslimin.

Kemuliaanya diabadikan dalam al-Qur'ân dan melalui untaian-untaian sabda Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allâh Azza wa Jalla menjadikannya sarat dengan kebaikan, mulai dari awal Ramadhan sampai akhir. Allâh Azza wa Jalla berfirman

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ

"(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhân, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'ân sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)".[al-Baqarah/2:185]

Jiwa yang terpenuhi dengan keimanan tentu akan segera mempersiapkan diri untuk meraih keutamaan serta keberkahan yang yang ada didalamnya.

Pada bulan ini Allah Azza wa Jalla menurunkan al-Qur'ân. Seandainya bulan Ramadhan tidak memiliki keutamaan lain selain turunnya al-Qur'ân maka itu sudah lebih dari cukup. Lalu bagaimana bila ditambah lagi dengan berbagai keutamaan lainnya, seperti pengampunan dosa, peninggian derajat kaum Mukminin, pahala semua kebaikan dilipatgandakan, dan pada setiap malam Ramadhan, Allah Azza wa Jalla membebaskan banyak jiwa dari api neraka.

Pada bulan mulia ini, pintu-pintu Surga dibuka lebar dan pintu-pintu neraka ditutup rapat, setan-setan juga dibelenggu. Pada bulan ini juga ada dua malaikat yang turun dan berseru, "Wahai para pencari kebaikan, sambutlah ! Wahai para pencari kejelekan, berhentilah !"

Pada bulan Ramadhân terdapat satu malam yang lebih utama dari seribu bulan. Orang yang tidak mendapatkannya berarti dia terhalang dari kebaikan yang sangat banyak.

Mengikuti petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mulia dalam melakukan ketaatan adalah hal yang sangat urgen, terlebih pada bulan Ramadhan. Karena amal shalih yang dilakukan oleh seorang hamba tidak akan diterima kecuali jika dia ikhlash dan mengikuti petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam. Jadi, keduanya merupakan rukun diterimanya amal shalih. Keduanya ibarat dua sayap yang saling melengkapi. Seekor burung tidak bisa terbang dengan menggunakan satu sayap.

Melalui naskah ringkas ini, marilah kita berusaha untuk mempelajari prilaku Rasûlullâh di bulan Ramadhân agar kita bisa meneladaninya. Karena orang yang tidak berada diatas petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam di dunia dia tidak akan bisa bersama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di akhirat. Kebahagiaan tertinggi akan bisa diraih oleh seseorang ketika ia mengikuti petunjuk Rasûlullâh secara lahir dan batin. Dan seseorang tidak akan bisa mengikuti Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali dengan ilmu yang bermanfaat. Ilmu itu tidak akan disebut bermanfaat kecuali bila diiringi dengan amalan yang shalih. Jadi amalan shalih merupakan buah ilmu yang bermanfaat.

Dibawah ini adalah beberapa kebiasaan dan petunjuk Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pada bulan Ramadhân :

a). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan memulai puasa kecuali jika beliau sudah benar-benar melihat hilal atau berdasarkan berita dari orang yang bisa dipercaya tentang munculnya hilal atau dengan menyempurnakan bilangan Sya'bân menjadi tiga puluh.

b). Berita tentang terbitnya hilal tetap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terima sekalipun dari satu orang dengan catatan orang tersebut bisa dipercaya. Ini menunjukan bahwa khabar ahad bisa diterima.

c). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang umatnya mengawali Ramadhân dengan puasa satu atau dua hari sebelumnya kecuali puasa yang sudah terbiasa dilakukan oleh seseorang. Oleh karena itu, beliau n melarang umatnya berpuasa pada hari Syak (yaitu hari yang masih diragukan, apakah sudah tanggal satu Ramadhan ataukah masih tanggal 30 Sya'bân-red)

d). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam berniat untuk melakukan puasa saat malam sebelum terbit fajar dan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya untuk melakukan hal yang sama. Hukum ini hanya berlaku untuk puasa-puasa wajib, tidak untuk puasa sunat.

e). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memulai puasa sampai benar-benar terlihat fajar shadiq dengan jelas. Ini dalam rangka merealisasikan firman Allâh Azza wa Jalla :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ

"Dan makan serta minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". [al-Baqarah/2:187]

Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan kepada umatnya bahwa fajar itu ada dua macam fajar shâdiq dan kâdzib. Fajar kadzib tidak menghalangi seseorang untuk makan, minum, atau menggauli istri. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah ekstrem kepada umatnya, baik pada bulan Ramadhân ataupun bulan lainnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyari'atkan adzan (pemberitahuan) tentang imsak.

f). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لَا تَزَالُ أُمَّتِي بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوا الْفِطْرَ

"Umatku senantiasa baik selama mereka menyegerakan berbuka"

g). Jarak antara sahur Rasûlullâh dan iqâmah seukuran bacaan lima puluh ayat

h). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki akhlak yang sangat mulia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling mulia akhlaknya. Bagaimana tidak, akhlak beliau adalah al-Qur'ân, sebagaimana diceritakan oleh Aisyah Radhiyallahu 'anha. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sangat menganjurkan umatnya untuk berakhlak mulia, orang-orang yang sedang menunaikan ibadah berpuasa. Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkatan dan perbuatan dusta, maka tidak membutuhkan puasanya sama sekali".

i). Rasûlullâh sangat memperhatikan muamalah yang baik dengan keluarganya. Pada bulan Ramadhân, kebaikan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada keluarga semakin meningkat lagi.

j). Puasa tidak menghalangi beliau untuk sekedar memberikan kecupan manis kepada para istrinya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang paling kuat menahan nafsunya.

k). Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak meninggalkan siwak, baik di bulan Ramadhân maupun diluar Ramadhân guna membersihkan mulutnya dan upaya meraih keridhaan Allâh Azza wa Jalla.

l). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berbekam padahal beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang menunaikan ibadah puasa. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan umatnya untuk berbekam sekalipun sedang berpuasa. Pendapat yang kontra dengan ini berarti mansukh (telah dihapus).

m). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah berjihad pada bulan Ramadhân dan menyuruh para shahabatnya untuk membatalkan puasa mereka supaya kuat saat berhadapan dengan musuh.

Diantara bukti Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam sayang kepada umatnya yaitu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membolehkan orang yang sedang dalam perjalanan, orang yang sakit dan oranng yang lanjut usia serta wanita hamil dan menyusui untuk membatalkan puasanya.

n). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih bersungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah pada bulan Ramadhân bila dibandingkan dengan bulan-bulan lain, terutama pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân untuk mencari lailatul qadr.

o). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhân kecuali pada tahun menjelang wafat, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam beri'tikaf selama dua puluh hari. Ketika beri'tikaf, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu dalam keadaan berpuasa

p). Ramadhân adalah syahrul Qur'ân (bulan al-Qur'ân), sehingga tadarus al-Qur'ân menjadi rutinitas beliau, bahkan tidak ada seorangpun yang sanggup menandingi kesungguh-sungguhan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam tadarus al-Qur'ân. Malaikat Jibril Alaihissallam senantiasa datang menemui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk tadarus al-Qur'ân dengan Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

q). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang dermawan. Kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhân tidak bisa digambarkan dengan kata-kata. Kedermawanan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ibarat angin yang bertiup membawa kebaikan, tidak takut kekurangan sama sekali.

r). Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah seorang mujahid sejati. Ibadah puasa yang sedang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam jalankan tidak menyurutkan semangat beliau untuk andil dalam berbagai peperangan. Dalam rentang waktu sembilan tahun, beliau mengikuti enam pertempuran, semuanya terjadi pada bulan Ramadhân. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam juga melakukan berbagai kegiatan fisik pada bulan Ramadhân, seperti penghancuran masjid dhirâr [1], penghancuran berhala-berhala milik orang Arab, penyambutan duta-duta, penaklukan kota Makkah, bahkan pernikahan beliau dengan Hafshah

Intinya, pada masa hidup Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, bulan Ramadhân merupakan bulan yang penuh dengan keseriusan, perjuangan dan pengorbanan. Ini sangat berbeda dengan realita sebagian kaum Muslimin saat ini yang memandang bulan Ramadhân sebagai saat bersantai, malas-malasan atau bahkan bulan menganggur atau istirahat.

Semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik kepada kita untuk selalu mengikuti jejak Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam, hidup kita diatas sunnah dan semoga Allah Azza wa Jalla mewafatkan kita juga dalam keadaan mengikuti sunnah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Amalan Puasa Ramadhan

AMALAN PUASA RAMADHAN   


Oleh Ustadz Abu Asma Kholid bin Syamhudi

DEFINISI PUASA
Secara bahasa, puasa (ash shiyam) dalam bahasa Arab artinya menahan diri, seperti tersebut dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنسِيًّا

"Aku telah bernadzar kepada Allah untuk menahan diri (dari berbicara)".[Maryam : 26].

Adapun secara istilah syar'i ialah, menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat.

AMALAN-AMALAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PUASA
1. Niat.
Jika telah masuk bulan Ramadhan, wajib bagi setiap muslim untuk berniat puasa pada malam harinya, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ اْلفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ

"Barangsiapa yang tidak berniat puasa sebelum fajar, maka tiada baginya puasa itu". [Riwayat Abu Dawud, Ibnu Khuzaimah, dan Al Baihaqi, dari Hafshah binti Umar]

Niat itu, tempatnya berada di hati. Sedangkan melafalkannya, termasuk amal bid'ah. Berniat puasa pada malam hari, ini khusus untuk puasa wajib saja.

2. Qiyam Ramadhan.
a). Qiyam Ramadhan Disyariatkan Dengan Berjamaah.
Dalam melaksanakan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) disyariatkan berjamaah. Bahkan berjamaah itu lebih utama dibandingkan mengerjakannya sendirian, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukan hal tersebut dan menjelaskan keutamaannya. Tersebut dalam hadits Abu Dzar:

صُمْنَا مَعَ رَسُولِ الهِd صَلَّى الهُa عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ فَلَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ مِنْ الشَّهْرِ فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِنَا فِي السَّادِسَةِ وَقَامَ بِنَا فِي الْخَامِسَةِ حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ فَقُلْنَا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ نَفَّلْتَنَا بَقِيَّةَ لَيْلَتِنَا هَذِهِ فَقَالَ إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ ثُمَّ لَمْ يُصَلِّ بِنَا حَتَّى بَقِيَ ثَلَاثٌ مِنْ الشَّهْرِ وَصَلَّى بِنَا فِي الثَّالِثَةِ وَدَعَا أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ فَقَامَ بِنَا حَتَّى تَخَوَّفْنَا الْفَلَاحَ قُلْتُ لَهُ وَمَا الْفَلَاحُ قَالَ السُّحُورُ

"Kami berpuasa Ramadhan bersama Rasulullah. Beliau tidak mengimami shalat tarawih kami selama bulan itu, kecuali sampai tinggal tujuh hari. Saat itu, Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu sepertiga malam. Pada hari keenam (tinggal 6 hari), Beliau tidak shalat bersama kami. Baru kemudian pada hari kelima (tinggal 5 hari), Beliau mengimami kami (shalat tarawih) sampai berlalu separoh malam. Saat itu kami berkata kepada Beliau: 'Wahai Rasulullah. Sudikah engkau menambah shalat pada malam ini'. Beliau menjawab,'Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imamnya sampai selesai, niscaya ditulis baginya pahala shalat satu malam'. Lalu pada malam keempat (tinggal 4 hari), kembali Beliau tidak mengimami shalat kami. Dan pada malam ketiga (tinggal 3 hari), Beliau kumpulkan keluarga dan istri-istrinya serta orang-orang, lalu mengimami kami (pada malam tersebut) sampai kami takut kehilangan kemenangan. Aku (perawi dari Abu Dzar) berkata: Aku bertanya, Apa kemenangan itu?. Beliau (Abu Dzar) menjawab, Sahur." [HR At Tirmidzi].

Demikianlah shalat tarawih atau qiyamu ramadhan tidak dilaksanakan dengan berjamaah pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan masa Abu Bakar, sampai pada masa kekhalifahan Umar bin Khaththab. Rasulullah tidak melakukannya secara berjamaah terus-menerus, sebab Beliau khawatir hal itu akan diwajibkan atas kaum Muslimin, sehingga ummatnya tidak mampu mengerjakannya. Disebutkan dalam hadits Aisyah (dalam Shahihain): "Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada suatu malam, lalu shalat di masjid, dan beberapa orang ikut shalat bersamanya. Pagi harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka berkumpullah orang lebih banyak dari mereka, lalu (Rasulullah) shalat dan orang-orang tersebut shalat bersamanya. Pada keesokan harinya, manusia membicarakan hal itu. Maka pada malam ke tiga, jama'ah semakin banyak, lalu Rasulullah keluar dan shalat bersama mereka. Ketika malam ke empat masjid tidak dapat menampung jama'ah (namun Beliau tidak keluar) sehingga Beliau keluar untuk shalat Subuh; ketika selesai shalat Subuh, Beliau menghadap jama'ah, lalu membaca syahadat dan bersabda: Amma ba'du. Aku sudah mengetahui sikap kalian. Akan tetapi, aku khawatir shalat ini diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak mampu melaksanakannya. Lalu (setelah beberapa waktu) Rasulullah meninggal, dan perkara tersebut tetap dalam keadaan tidak berjamaah". [HR Al Bukhari dan Muslim].

Jadi, sebab shalat ini tidak dilaksanakan secara berjama'ah terus-menerus pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah kekhawatiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam kalau-kalau shalat ini diwajibkan atas umatnya. Dan sebab ini telah hilang dengan wafatnya beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. karena dengan wafatnya beliau berarti agama ini telah disempurnakan oleh Allah Azza wa Jalla, tidak mungkin lagi ada penambahan. Dengan demikian, tinggallah hukum disyariatkannya berjamaah dalam qiyam Ramadhan (baca tarawih) yang hal itu dihidupkan oleh Umar bin al-Khaththab pada kekhalifaannya.

b). Jumlah Rakaatnya.
Menurut pendapat yang rajih (kuat), qiyam ramadhan dikerjakan 11 rakaat, dan boleh kurang darinya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menentukan banyaknya maupun panjang bacaannya.

c). Waktunya.
Waktunya dikerjakan dari setelah shalat Isya` sampai munculnya fajar Subuh. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللهَ زَادَ كُمْ صَلاَةً ،وَهِيَ الْوِتْرُ فَصَلُّوْهَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ إِلَى صَلاَةِ الْفَجْرِ

"Sesungguhnya Allah telah menambah kalian satu shalat, dan dia adalah witir, maka shalatlah kalian antara shalat Isya sampai shalat Fajar". [HR Ahmad dari Abi Bashrah, dan dishahihkan Al Albani dalam Qiyam Ar Ramadhan, 26].

d). Qunut.
Setelah selesai membaca surat dan sebelum ruku, kadang-kadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membaca qunut, dan boleh dilakukan setelah ruku.

e). Bacaan Setelah Shalat Witir.

سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْسِ سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُوْس

Cara membaca doa ini, yaitu dengan memanjangkan suara dan meninggikannya pada yang ketiga.

3). Sahur.
Allah mensyariatkan sahur atas kaum Muslimin untuk membedakan puasa mereka dengan puasa orang-orang sebelum mereka, sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri :

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحُوْرِ رواه مسلم

"Yang membedakan puasa kita dengan puasa ahli kitab adalah makan sahur". [Riwayat Muslim].

a). Keutamaan Sahur.
• Sahur adalah berkah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّهَا بَرَكَةٌ أَعْطَاكُمُ اللهُ إِيَّاهَا فَلاَ تَدَعُوْهُ رواه النسائي وأحمد بسند صحيح

"Sesungguhnya sahur adalah berkah yang diberikan Allah kepada kalian, maka kalian jangan meninggalkannya". [Riwayat An Nasa-i dan Ahmad, dengan sanad yang shahih].

Sahur sebagai suatu berkah dapat dilihat dengan jelas, karena itu mengikuti Sunnah dan menguatkan orang berpuasa, serta menambah semangat untuk menambah puasa. Juga mengandung maksud untuk membedakan dengan ahli kitab.

• Shalawat dari Allah dan malaikat ditujukan kepada orang yang bersahur. Dalam hadits Abu Sa'id Al Khudri Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

السَّحُوْرُ أَكْلَةُ الْبَرَكَةِ، فَلاَ تَدَعُوْهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جُرْعَةً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ رواه ابن أبي شيبة وأحمد

"Sahur adalah makanan berkah, maka kalian jangan tinggalkan, walaupun salah seorang dari kalian hanya meminum seteguk air, karena Allah dan para malaikat bershalawat atas orang-orang yang bersahur".[Riwayat Ibnu Abu Syaibah dan Ahmad].

b). Mengakhirkan Sahur Adalah Sunnah.
Disunnahkan memperlambat sahur sampai mendekati Subuh (Fajar), sebagaimana disebutkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhu dari Zaid bin Tsabit, ia berkata :

تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيْثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ، قُلْتُ:كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسُّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيـة رواه البخاري ومسلم

"Kami sahur bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau pergi untuk shalat. Aku (Ibnu Abbas) bertanya: Berapa lama antara adzan dengan sahur? Dia menjawab, Sekitar 50 ayat." [Riwayat Al Bukhari dan Muslim]
.
c). Hukum Sahur.
Sahur merupakan sunnah muakkad (sunnah yang ditekankan). Dalilnya :
• Perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِيْ السُّحُوْرِ بَرَكَةً رواه البخاري ومسلم

"Bersahurlah, karena dalam sahur terdapat berkah". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].

• Larangan meninggalkan sahur sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Sa'id yang terdahulu. Oleh karena itu, Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (3/139) menukilkan ijma tentang sunnahnya sahur.

4. Waktu Puasa.
Waktu puasa dimulai dari terbit fajar Subuh sampai terbenam matahari. Dalilnya, yaitu firman Allah, yang artinya : "Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam". [Al-Baqarah:186].

Setelah jelas waktu fajar, maka kita menyempurnakan puasa sampai terbenam matahari, lalu berbuka sebagaimana disebutkan dalam hadits Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَهُنَا وَ أَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَهُنَا وَغَرَبَتِ الشَّمْسُ فَقَدْ أَفْطَرَ الصَّائِمُ رواه البخاري ومسلم

"Jika telah datang waktu malam dari arah sini dan pergi waktu siang dari arah sini serta telah terbenam matahari, maka orang yang berpuasa telah berbuka". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim]

Waktu berbuka tersebut dapat dilihat dengan datangnya awal kegelapan dari arah timur setelah hilangnya bulatan matahari secara langsung. Semua itu dapat dilihat dengan mata telanjang, tidak memerlukan alat teropong untuk mengetahuinya.

5. Perkara-Perkara Yang Membatalkan Puasa.
a). Makan dan minum dengan sengaja. Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Dan makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian putihnya siang dan hitamnya malam dari fajar, kemudian sempurnakanlah puasa sampai malam" [Al-Baqarah:186].
b). Sengaja untuk muntah, atau muntah dengan sengaja.
c). Haid dan nifas.
d). Injeksi yang berisi makanan (infus).
e). Bersetubuh.

6. Perkara-Perkara Lain Yang Harus Ditinggalkan Saat Berpuasa.
a). Berkata bohong. Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah nbersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَ اْلعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ ِلهُِ حَاجَةً أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَه رواه البخاري

"Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan bohong, maka Allah tidak butuh dengan usahanya meninggalkan makan dan minum". [Riwayat Al Bukhari].

b). Berbuat kesia-siaan dan kejahatan (kejelekan). Disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشَّرَابِ إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ، فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّيْ صَائِمٌ إِنِّيْ صَائِمٌ رواه ابن خزيمة والحاكم

"Bukanlah puasa itu (menahan diri) dari makan dan minum, (tetapi) puasa itu adalah (menahan diri) dari kesia-siaan dan kejelekan, maka kalau seseorang mencacimu atau berbuat kejelekan kepadamu, maka katakanlah : Saya sedang puasa. Saya sedang puasa". [Riwayat Ibnu Khuzaimah dan Al Hakim].

7. Perkara-Perkara Yang Dibolehkan.
a). Orang yang junub sampai datang waktu fajar, sebagaimana disebutkan dalam hadits Aisyah dan Ummu Salamah, keduanya berkata: "Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendapatkan fajar (Subuh) dalam keadaan junub dari keluarganya, kemudian mandi dan berpuasa". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].
b). Bersiwak.
c). Berkumur dan memasukkan air ke hidung ketika berwudhu`.
d). Bersentuhan dan berciuman bagi orang yang berpuasa, dan dimakruhkan bagi orang-orang yang berusia muda, karena dikhawatirkan hawa nafsunya bangkit.
e). Injeksi yang bukan berupa makanan.
f). Berbekam.
g). Mencicipi makanan selama tidak masuk ke tenggorokan.
h). Memakai penghitam mata (celak) dan tetes mata.
i). Menyiram kepala dengan air dingin dan mandi.

8. Orang-Orang Yang Dibolehkan Tidak Berpuasa.
a). Musafir (orang yang melakukan perjalanan atau bepergian ke luar kota). Mereka diberi kemudahan oleh Allah untuk berbuka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain". [Al-Baqarah :185]. Mereka diperbolehkan berbuka dan mengqadha (mengganti) puasanya pada bulan-bulan yang lainnya.

b). Orang yang sakit diperbolehkan berbuka puasa pada bulan Ramadhan sebagai rahmat dan kemudahan yang Allah limpahkan kepadanya. Orang Sakit yang dibolehkan untuk berbuka puasa, jika sakit tersebut dapat membahayakan jiwanya, atau menambah sakitnya yang ditakutkan akan mengakhirkan atau memperlambat kesembuhannya jika si penderita berpuasa.

c). Wanita yang sedang haid atau nifas diwajibkan berbuka, maksudnya tidak boleh berpuasa. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَ لَمْ تَصُمْ فَذَلِكَ نُقْصَانُ دِيْنِهَا

"Bukankah kalau dia sedang haid tidak boleh shalat dan tidak boleh puasa? Maka itulah kekurangan agamanya". [HR Bukhari].

Juga hadits Aisyah ketika beliau ditanya tentang wanita yang mengqadha puasa dan tidak mengqadha shalatnya:

كَانَ يُصِيْبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَوْمِنَا وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ صَلاَتِنَا

"Dulu kamipun mendapatkannya, lalu kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan mengqadha shalat". [HR Bukhari dan Muslim].

Berdasarkan ijma' para ulama, maka wanita yang sedang haid atau nifas, diwajibkan berbuka dan mengqadha puasanya pada bulan-bulan yang lain.

d). Orang yang sudah tua dan lemah, baik laki-laki maupun perempuan dibolehkan untuk berbuka, sebagaimana dikatakan Ibnu Abbas: "Orang laki-laki dan perempuan tua yang sudah tidak mampu berpuasa, maka mereka memberi makan setiap hari seorang miskin". [Riwayat Al Bukhari, no. 4505].

e). Wanita sedang hamil atau menyusui, yang takut terhadap keselamatan dirinya dan anak yang dikandungnya atau anak yang disusuinya, juga termasuk yang mendapat keringanan untuk berbuka. Tidak ada kewajiban bagi mereka, kecuali fidyah. Demikian ini adalah pendapat Ibnu Abbas dan Ishaq. Dalilnya ialah firman Allah, yang artinya : Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya membayar fidyah (jika mereka tidak puasa), (yaitu) memberi makan seorang miskin. [Al-Baqarah : 184].

Ayat ini dikhususkan bagi orang tua yang sudah lemah, orang sakit yang tidak kunjung sembuh, orang hamil dan menyusui jika keduanya takut terhadap keselamatan dirinya atau anaknya. Karena ayat di atas telah dinasakh oleh ayat yang lain, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdulah bin Umar dan Salamah bin Al Akwa':

كُنَّا فِيْ رَمَضَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ مَنْ شَاءَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَ فَافْتَدَى بِطَعَامِ مِسْكِيْنِ
حَتَّى نَزَلَتْ هَذِهِ الأَيَةُ : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْ.

"Kami dahulu pada bulan Ramadlan dimasa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang mau berpuasa, boleh dan yang tidak bepuasa juga boleh, tapi memberikan makan kepada satu orang miskin, sampai turun ayat (yang artinya) "Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, -QS Al Baqarah ayat 185-
,
Akan tetapi Ibnu Abbas berpendapat, bahwa ayat tersebut tidak dinasakh (dihapus). Ayat ini khusus bagi orang-orang tua yang tidak mampu berpuasa, dan mereka boleh memberi makan satu orang miskin setiap hari. (Lihat perkataannya yang diriwayatkan Ibnul Jarut, Baihaqi dan Abu Dawud dengan sanad shahih). Pendapat ini dikuatkan juga oleh hadits Mu'adz bin Jabal, ia berkata:

فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَصُومُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ وَيَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى كُتِبَ عَلَيْكُمْ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِلَى قَوْلِهِ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ شَاءَ أَنْ يَصُومَ صَامَ وَمَنْ شَاءَ أَنْ يُفْطِرَ وَيُطْعِمَ كُلَّ يَوْمٍ مِسْكِينًا أَجْزَأَهُ ذَلِكَ وَهَذَا حَوْلٌ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ إِلَى أَيَّامٍ أُخَرَ فَثَبَتَ الصِّيَامُ عَلَى مَنْ شَهِدَ الشَّهْرَ وَعَلَى الْمُسَافِرِ أَنْ يَقْضِيَ وَثَبَتَ الطَّعَامُ لِلشَّيْخِ الْكَبِيرِ وَالْعَجُوزِ اللَّذَيْنِ لَا يَسْتَطِيعَانِ الصَّوْمَ

"Sesungguhnya Rasulullah setelah datang ke Madinah memulai puasa tiga hari setiap bulan dan puasa hari Asyura, kemudian Allah turunkan firmanNya " Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kelian berpuasa..." sampai pada firmanNya "...memberi makan.". Ketika itu, siapa yang ingin berpuasa, dia berpuasa. Dan yang ingin berbuka (tidak puasa), bisa menggantinya dengan memberi makan satu orang miskin. Ini selama satu tahun. Kemudian Allah menurunkan lagi ayat yang lain "Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al Qur'an ..." sampai pada firmanNya "..di hari yang lain ..". Maka puasa tetap wajib bagi orang yang mukim (tidak safar) pada bulan tersebut, dan bagi musafir wajib mengqadha puasanya, dan menetapkan pemberian makanan bagi orang-orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa ... . " [HR Abu Dawud, Baihaqi dan Ahmad].

Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid dan Salim Al Hilali dalam Shifat Shaum Nabi, lihat halaman 80-84.

9. Berbuka Puasa.
a). Mempercepat waktu berbuka puasa. Termasuk sunnah dalam puasa, yaitu mempercepat waktu berbuka. Sebagaimana dikatakan oleh Amr bin Maimun Al Audi, bahwa sahabat-sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling cepat berbuka dan paling lambat sahurnya. [Diriwayatkan oleh Abdurrazaq dalam Al Mushannaf, no. 7591 dengan sanad yang dishahihkan Ibnu Hajar dalam Fathul Bary, 4/199].

Manfaat dari mempercepat berbuka ialah :

• Untuk mendapatkan kebaikan. Disebutkan dalam hadits yang diriwayatkan Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا اْلفِطْرَ رواه البخاري ومسلم

"Manusia akan senantiasa dalam kebaikan selama mereka mempercepat buka puasanya.". [Riwayat Al Bukhari dan Muslim].

• Merupakan Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
• Untuk membedakan dengan puasa ahli kitab, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ، لأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَهُ رواه أبو داود وابن حبان بسند حسن

"Agama ini akan senantiasa menang selama manusia (kaum Muslimin) mempercepat buka puasanya, karena orang-orang Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya". [Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Hibban dengan sanad hasan].

Dan berbuka puasa dilakukan sebelum shalat Maghrib, karena merupakan akhlak para nabi.

b). Makanan Berbuka.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan kita untuk berbuka dengan kurma, dan kalau tidak ada, maka dengan air sebagaimana dikatakan Anas bin Malik: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan ruthab sebelum shalat, kalau tidak ada ruthab, maka dengan kurma, dan kalau tidak ada kurma, Beliau menghirup (meminum) beberapa teguk air". [HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih]. Ini merupakan kesempurnaan kasih sayang dan perhatian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam terhadap umatnya.

c). Bacaan Ketika Berbuka.
Berdoa ketika berbuka termasuk dari doa-doa yang mustajab, sebagaimana disabdakan Rasulllah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٍ دَعْوَةُ الصَّائِمِ وَ دَعْوَةُ الْمَظْلُوْمِ وَ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ

"Ada tiga doa yang mustajab, (yaitu): doanya orang yang berpuasa, doanya orang yang terzhalimi dan doanya para musafir". [HR Al Uqaili].

Sebaiknya berdoa dengan doa:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوْقُ وَ ثَبَتََ الأَجْرُ إِنْ شَاءَاللهُ

"Mudah-mudahan hilang dahaga, basah otot-otot dan mendapat pahala, insya Allah".

d). Memberi Makan Kepada Orang Yang Berpuasa.
Hendaknya orang yang berpuasa menambah pahala puasanya dengan memberi makan orang yang berbuka puasa. Orang yang melakukannya akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرُ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

"Barangsiapa yang memberi buka puasa orang yang berpuasa, maka dia mendapat (pahala) seperti pahalanya (orang yang berbuka itu) tanpa mengurang sedikitpun pahala orang yang berpuasa tersebut". [HR Ahmad dan At Tirmidzi]

10. Adab Orang Yang Berpuasa.
a). Memperlambat sahur.
b). Mempercepat berbuka puasa.
c). Berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka.
d). Menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasa.
e). Bersiwak.
f). Memperbanyak berinfak dan tadarus Al Qur`an.
g). Bersungguh-sungguh dalam beribadah, khususnya pada sepuluh hari terakhir.

Demikianlah beberapa hal yang berkaitan dengan ibadah puasa yang kamisampaikan secara singkat. Mudah-mudahan bermanfaat.